DKI Jakarta merupakan ibukota Indonesia dengan suku asli masyarakat Betawi. Ibukota tentu saja memiliki masakan khas yang lebih lengkap dari semua daerah di Indonesia. Namun kali ini kita akan membahas Rawon khas dari Ibukota atau dari Betawi asli! Jadi rawon ternyata bukan milik khusus orang Jawa saja, Betawi juga ada ya! Mari kita simak tulisan berikut ini:
TRIBUNNEWS.COM - Sayur gabus pucung adalah sayur ikan gabus khas Betawi yang berwarna hitam pekat dari pucung (kluwek). Pucung atau kluwek biasa dikenal sebagai bumbu rawon. Jika rawon menggunakan daging, sayur gabus pucung menggunakan ikan gabus.
Bahan utama pucung gabus adalah ikan gabus. Ikan gabus disajikan dalam potongan-potongan ikan pada umumnya, seperti kepala, badan, atau ekor. Ikan gabus yang sudah digoreng, lalu dicemplungkan ke dalam kuah hitam yang dibuat dari pucung atau dikenal dengan nama kluwek.
Bumbu dalam kuah tersebut adalah kemiri, bawang merah, bawang putih, cabai merah, jahe, kunyit, dan daun salam. Semua bumbu diulek lalu ditumis kemudian dimasukan ke dalam air.
Ikan dimasak hingga lunak. Sekilas tampilan kuahnya mirip dengan rawon. Rasa kuah sayur gabus ini tak ubahnya seperti hidangan rawon khas Jawa Timur.
Jadi, jika Anda terbiasa menyantap rawon, ditanggung tidak akan kaget tersengat rasa sayur gabus itu. "Kalau rawon kan tetap tidak pakai gabus," kata Wati.
Nah, sayur gabus merupakan masakan turun-temurun orang Betawi. Kebetulan ibu kandung Wati sangat pandai mengolah sayur gabus. "Sejak kecil saya sudah disosor sayur gabus," ujarnya dengan logat Betawi yang kental.
Tak hanya itu, sang emak juga kerap menjajakan hasil racikannya ke tetangga kiri kanan rumah. Sayur ikan gabus pucung sebagai masakan khas Betawi relatif sulit ditemukan. Sebagian wilayah Bekasi yang banyak mendapat pengaruh dari masyarakat Betawi (misalnya sebagian Kota Bekasi hingga Tambun dan Cibitung) mengenal masakan ini sebagai masakan untuk para bos.
Selain rumah makan yang menyediakannya jarang, ikan gabus juga sulit diternak. Sebagian besar ikan gabus yang didapat merupakan tangkapan dari alam.
Dalam sehari, menurut Wati, dirinya harus menyediakan kurang lebih 20 kilogram ikan gabus. Pemasok ikan tersebut kebanyakan dari daerah Sumatera. Yang lucu, ikan gabus ini memiliki beberapa nama sesuai dengan ukurannya.
Ikan gabus yang masih kecil bernama ciritan. Yang remaja dan sudah agak dewasa bernama boncelan.
Yang besar dan sudah beranak pinak barulah diberi nama ikan gabus.
Ini mirip dengan penamaan buah nangka dimasyarakat Bekasi. Yang masih kecil diberi nama gori. Yang agak besar diberi nama cek-cek (atau cecek, bukan cicak lho) dan yang besar baru diberi nama nangka.
"Kami memilih dengan berat (ikan) 1 kilogram. Jadi ketika dipotong menjadi dua bagian tidak terlalu kekecilan. Seporsi pucung isinya setengah ekor," kata Wati yang merupakan generasi kedua penerus warung Betawi tersebut.
Selain menaruh perhatian pada racikan bumbu, pengolahan ikan gabus juga harus dicemati. Maklum, tidak sembarang orang bisa mengolah ikan gabus. Terutama, saat menyisik sirip ikan gabus.
Selain membutuhkan pisau yang tajam, si penyisik juga harus bisa mengelupas semua sisik ikan sampai putih dan bersih. "Kalau masih ada sisiknya akan amis," kata Wati.
Untuk membersihkan ikan dirinya mempekerjakan 15 orang. Tak heran jika Wati tidak asal mencomot tenaga pembersih. Kebanyakan karyawan di sana adalah ibu-ibu yang masih memiliki hubungan saudara atau tetangga. Seporsi pucung gabus dibandrol dengan harga Rp 15.000.
TRIBUNNEWS.COM - Sayur gabus pucung adalah sayur ikan gabus khas Betawi yang berwarna hitam pekat dari pucung (kluwek). Pucung atau kluwek biasa dikenal sebagai bumbu rawon. Jika rawon menggunakan daging, sayur gabus pucung menggunakan ikan gabus.
Bahan utama pucung gabus adalah ikan gabus. Ikan gabus disajikan dalam potongan-potongan ikan pada umumnya, seperti kepala, badan, atau ekor. Ikan gabus yang sudah digoreng, lalu dicemplungkan ke dalam kuah hitam yang dibuat dari pucung atau dikenal dengan nama kluwek.
Bumbu dalam kuah tersebut adalah kemiri, bawang merah, bawang putih, cabai merah, jahe, kunyit, dan daun salam. Semua bumbu diulek lalu ditumis kemudian dimasukan ke dalam air.
Ikan dimasak hingga lunak. Sekilas tampilan kuahnya mirip dengan rawon. Rasa kuah sayur gabus ini tak ubahnya seperti hidangan rawon khas Jawa Timur.
Jadi, jika Anda terbiasa menyantap rawon, ditanggung tidak akan kaget tersengat rasa sayur gabus itu. "Kalau rawon kan tetap tidak pakai gabus," kata Wati.
Nah, sayur gabus merupakan masakan turun-temurun orang Betawi. Kebetulan ibu kandung Wati sangat pandai mengolah sayur gabus. "Sejak kecil saya sudah disosor sayur gabus," ujarnya dengan logat Betawi yang kental.
Tak hanya itu, sang emak juga kerap menjajakan hasil racikannya ke tetangga kiri kanan rumah. Sayur ikan gabus pucung sebagai masakan khas Betawi relatif sulit ditemukan. Sebagian wilayah Bekasi yang banyak mendapat pengaruh dari masyarakat Betawi (misalnya sebagian Kota Bekasi hingga Tambun dan Cibitung) mengenal masakan ini sebagai masakan untuk para bos.
Selain rumah makan yang menyediakannya jarang, ikan gabus juga sulit diternak. Sebagian besar ikan gabus yang didapat merupakan tangkapan dari alam.
Dalam sehari, menurut Wati, dirinya harus menyediakan kurang lebih 20 kilogram ikan gabus. Pemasok ikan tersebut kebanyakan dari daerah Sumatera. Yang lucu, ikan gabus ini memiliki beberapa nama sesuai dengan ukurannya.
Ikan gabus yang masih kecil bernama ciritan. Yang remaja dan sudah agak dewasa bernama boncelan.
Yang besar dan sudah beranak pinak barulah diberi nama ikan gabus.
Ini mirip dengan penamaan buah nangka dimasyarakat Bekasi. Yang masih kecil diberi nama gori. Yang agak besar diberi nama cek-cek (atau cecek, bukan cicak lho) dan yang besar baru diberi nama nangka.
"Kami memilih dengan berat (ikan) 1 kilogram. Jadi ketika dipotong menjadi dua bagian tidak terlalu kekecilan. Seporsi pucung isinya setengah ekor," kata Wati yang merupakan generasi kedua penerus warung Betawi tersebut.
Selain menaruh perhatian pada racikan bumbu, pengolahan ikan gabus juga harus dicemati. Maklum, tidak sembarang orang bisa mengolah ikan gabus. Terutama, saat menyisik sirip ikan gabus.
Selain membutuhkan pisau yang tajam, si penyisik juga harus bisa mengelupas semua sisik ikan sampai putih dan bersih. "Kalau masih ada sisiknya akan amis," kata Wati.
Untuk membersihkan ikan dirinya mempekerjakan 15 orang. Tak heran jika Wati tidak asal mencomot tenaga pembersih. Kebanyakan karyawan di sana adalah ibu-ibu yang masih memiliki hubungan saudara atau tetangga. Seporsi pucung gabus dibandrol dengan harga Rp 15.000.